Sabtu, 30 Agustus 2014
- 02.35
- 0 Comments
Cerpen : Muthohar, S.Pd
Cacingan.
Mungkin itulah perkataan pertama ketika melihat bocah ini. Anak perempuan yang
gemar memainkan pusarnya. Ia melakukan
itu bukan karena gatal, tapi karena alasan lain yang sulit diketahui.
Kejanggalan tercium harum ketika tidak terlihat gejala yang menyerupai gatal atau apalah istilah penyakit
kulit lainya.
Jembling. Itulah nama
panggilannya sehari-hari. Gadis cilik yang pendiam ini memiliki keanehan bentuk
pada perutnya. Tak seperti teman-teman sebayanya, perut gadis cilik ini
terlihat agak sedikit besar dan membuncit. Maka dari itulah orang-orang di
sekitarnya memanggil namanya dengan sebutan Jembling. Tak marah, tak sakit
hati, bahkan tak peduli. Hal itu terlihat di wajah datarnya ketika teman-teman
sebayanya memanggil dengan sebutan seperti itu. Apakah itu nama aslitentu saja
tidak…! Nama aslinya adalah Rusmini. Bocah perempuan yang kebetulan mengalami
kelahiran tak wajar ini sebenarnya tidak
diinginkan kelahirannya oleh ayah dan
ibunya.
Keanehan si Jembling
ini muncul ketika masih di dalam kandungan. Usia kandungan yang mencapai 15
bulan, (waw…! Lama ya..?) ukuran kehamilan
yang sangat besar, dan yang lebih aneh ketika malam hari pasti perut Dirjah
saat mengandung si-Jembling mengeluarkan
aroma bangkai yang sangat menyengat. Segala pengobatan sudah ditempuh. Siapapun
tak bisa tahu apa yang menimpa kehamilan itu. Bahkan sampai kedua orang tuanya
mencoba menggugurkan kandungan beberapa
kali. Nihil tanpa hasil, itulah ending akhirnya.
Kini Jembling sudah
kelas enam di SD desa kami. Kebiasaan mengelus pusarnya itu tidak berkurang
bahkan malah bisa dibilang semakin menjadi-jadi. Tak malu, ketika ia harus
melakukan kebiasaan itu di depan guru dan teman-temannya. Bahkan ia sampai rela
selalu menyendiri ketika istirahat demi untuk menikmati kebiasaan itu.
Teman-temannya agak sedikit memaklumi walau
tak jarang mereka menggunjing anjing karena merasa risih.
Tak ada teman-temannya yang berani berkomentar di depannya. Mereka
takut kalau Jembling ini marah. Minggu kemarin ia habis mencakar dan menggigit
telinga guru Bahasa Indonesianya sampai putus. Bahkan ia menjilati darah yang
berceceran di atas lantai saat itu. Kejadian itu berawal ketika ia ditegur agar tidak melakukan
kebiasaan mengelus pusarnya. Apakah ia langsung dikeluarkan? (sedang berpikir lama)Jawabanya, Tidak.
Tak ada yang berani mengeluarkan ia dari sekolah, bahkan kepala sekolah pun dipastikan
tak akan berani menegur.
Dulu ketika Si Jembling
duduk di kelas empat ia pernah dikeluarkan karena pernah menggigit jempol temanya sampai putus
sebelum kemudian memakannya. Kepala sekolah yang saat itu mengeluarkannya
tiba-tiba mati dengan kondisi perut membesar dan meledak. prasangka pun
bermunculan. Ada yang menyangka kematiannya disebabkan karena hewan buas, dan ada pula yang
berprasangka kematian kepala sekolah tersebut karena disantet oleh ayah si-Jembling
yang dulunya pernah berprofesi sebagai dukun.(
ehem.. ingat…! sekali lagi itu hanya prasangka.)
Keanehan
bermunculan . Banyak yang berasumsi keanehannya itu akibat dari karma yang
telah dilakukan ayahnya yang bernama
Jarwono. Lelaki yang berwajah brewokan dan suka berpakaian hitam ini dulunya memang
terkenal sebagai dukun berdarah dingin yang sadis dan sakti. Bahkan ia tak
segan menghabisi nyawa seseorang melalui ilmu santetnya hanya demi mendapatkan
sedikit mahar dari pasiennya. Namun
sekarang ada yang mengatakan kalau ia sudah berhenti menjalani profesi jahanam
itu.
*******
Si
Jumbling.(maaf
salah ketik, maksudnya si Jembling. jangan diketawain!) Ia terlahir sesudah ibunya meninggal. Bocah
perempuan berwajah seram, berambut panjang dan mempunyai gigi berkerak hitam
itu terlahir sesudah ibunya tak bernyawa karena bunuh diri. Mungkin karena depresi yang berkepanjangan. Banyak
yang mengatakan kalau ibunya bunuh diri karena tak kuat menahan sakit, malu
karena menunggu kelahiran si Jembling
yang sampai lima belas bulan. Namun ketika mayat ibunya hendak dikubur, tiba-tiba
terlihat bayi yang merangkak dari dalam liang lahat. Orang-orang pada lari
tunggang langgang karena ketakutan tanpa memperdulikan mayat Rumijah yang masih
tergletak di liang lahat dan belum sempat ditutupi tanah. Itulah keanehan yang mustahil,
tapi memang benar-benar terjadi di kampun kami.kampung yang terletak di perut
gunung berapi.
Ia hidup bersama
Jarwono ayahnya yang terlihat setengah hati merawatnya. Namun sang ayah selalu
berusaha untuk menuruti keanehan putri kandungnya itu. Dia adalah satu-satunya
orang yang ditakuti oleh Jembling putrinya. Bahkan tak jarang si-Jembling
ini dibentak, dan dipukul oleh dengan
keras. Mungkin Pola asuh yang salah juga merupakan salah satu alasan kenapa Jembling
ini bersikap lain dengan teman – teman sebayannya.
Keanehan semakin
menjadi-jadi. Banyak tetangga yang tak sengaja melihat si jumbling ini mencoba
menangkap anak ayam milik tetangga sebelah rumahnya sebelum kemudian memakannya
mentah-mentah.
“Untuk apa kamu
menangkap ayam-ayam itu mbling…?” Tegur salah satu tetangga yang kebetulan memergokinya
sedang menenteng anak ayam yang sudah mati. Tapi tak terdengar sautan
suara. Dan bibirnya pun tak terlihat menanggapi degan gerak bicara. Sorot
matanya lurus kosong tanpa kedip. Hanya tangan kirinya yang terlihat sedang
mengelus asik pusarnya. Tetangga yang
menegur itu hanya bergumam tak merespon panjang kebiasaan yang sebenarnya sudah
diketahui tetangga sekitar.
**********
Kampung kami
panik. Warga kami benar-benar terkena
musibah. Kami kebingungan. Apa yang
sedang menimpa kampung kami saat ini? Hampir setiap hari kami harus menggotong
dan memakamkan tetanga kami yang tiba-tiba tak bernyawa. Satu persatu
orang-orang dikampung kami meninggal tanpa diketahui apa penyebabnya.
Malam itu langit tak menampakkan bintangnya, kabut tebal membungkus duka kami yang penuh amarah. Tak jarang kadang terdengar suara anjing yang menggonggong di kejauhan hutan. Kemudian tiba-tiba, terdengar teriakan meminta tolong dari salah satu rumah warga. Kami yang sedang berjaga di pos kampling dengan pak Lurah pun bergegas menuju ke arah teriakan. Kopi yang baru separo diminum tak sempat kami habiskan. Sesampainya disana, kami disuguhkan pemandangan yang sangat mengerikan. Tetangga kami terlihat tergletak tak bernyawa bersimbah darah dengan kondisi isi perut yang tak utuh.
Ini adalah kematian
yang ke tujuh di kampung kami. Kami masih menerka-nerka apa yang sedang terjadi
dikampung kami. Binatang buas jelas tak mungkin melakukan ini. Hanya Memakan
isi perut dan membiarkan organ tubuh lain utuh.
“Ini pasti pebuatan
Jarwono dan Putrinya” cetus tanpa bukti oleh salah satu warga yang sedang
berdiri di depan rumah kepala desa sambil memegang erat oncor di tangan
kirinya. Teriakan salah satu warga kami
itu pun disambut benar oleh beberapa warga lain yang berada di belakangnya.
“ Bakar saja rumahnya.
Bunuh mereka berdua” teriak beberapa warga sembari memecah dinginnya malam dan
gerimis halus yang terlihat membasahi jidat mereka.
“ Sabar, sabar
saudar-saudara. Kita harus membahas ini dengan kepala dingin. Tidak baik kalau
kita menuduh tanpa adanya bukti yang nyata.” Terang lurah sambil berdiri di
depan pintu menghadap warganya. Kerutan jidat seluruh warga seolah menggambar
pasti tentang ketidak setujuan mereka terhadap perkataan lurah mereka.
Perdebatan telah
mengusik suasana malam itu. Langit yang gelap seolah sedang berusaha memberikan
jawabannya. Kami hanya diam mendengar perdebatan yang tiada henti antara warga
dan kepala desa kami yang berusaha untuk mencegah perbuatan hakim sendiri.
“Kalau bapak lurah tak
berani, biar kami saja yang menghabisi mereka, ayo.. kita bakar rumah mereka.”
Pekik salah satu warga sekaligus menjadi terompet genderang amarah pada malam
itu.
“kalian belum ada
bukti, ini belum pasti” saran agak putus asa yang kembali terlontar dari bibir
hitamnya (bibir hitam : perokok. Tapi
apakah itu jawaban pasti…???)ke warga yang berlahan sudah melangkah jauh
dari hadapannya.
Warga pun
berbondong-bondong mendatangi rumah gubug milik Jarwono dan Si Jembling
anaknya. Dengan masing-masing warga membawa obor, seolah mereka membawa pedang
untuk bertempur di medan perang. Meraka siap membunauh, membantai , dan
membakar rumah Jarwono dan putrinya.
“Bakar rumahnya. Bunuh
mereka..!” teriak warga kompak yang tanpa memerlukan komando panglima.
“Sedang apa kalian ini. Apa salah kami?”
teriak Jarwono sambil memeluk putrinya yang terlihat sayu karena baru terbangun
dari tidurnya.
“jangan pura-pura tidak
tahu. Kalianlah yang menyebabkan kampung ini sangkak(Sial). Jangan kira kami
tidak tahu tentang kelakuan aneh putrimu. Kamu pasti membunuh warga karena
ingin memuaskan nafsu putrimu. Dan memberikan isi perut warga kami yang mati
kepadannya.” Sembari menunjuk jahat kearah mata Si Jembling.
“Jangan banyak bicara,
mari kita bakar saja rumah ini…!” tanpa memberikan kesempatan Jarwono untuk
bicara.
Terlihat beberapa
pemuda kuat memegang dan mengikat Jarwono dan si Jembling, sebelum mereka
memukulinya dengan beberapa batang kayu hingga mereka tak berdaya.
“Masukkan mereka kedua
kedalam rumah.”
“tolong, ampuni kami,
kami tak bersalah, tolong jangan bunuh anakku. Kalau kalian ingin membunuh,
bunuhlah aku, ” pinta jarwono penuh iba dan air mata. Namun ekspresi tampak
lain di wajah si-Jembling. Dia hanya menatap tajam tanpa takut dan hannya wajah
datar yang terlihat penuh misteri.
Obor telah dilempar di
atas rumah yang atapnya terbuat dari jerami kering. Tak butuh waktu lama
kobaran kemurkaan melalap rumah itu beserta pemiliknya. Sudah taka da teriakan,
jeritan yang menjadi genderang pada malam itu. Suma lenyap seiring asap yang
membumbung dan api yang mulai memadam.
Semua warga berbondong
pulang dengan rasa hati puas tanpa dosa. Tak jarang umpatan,umpatan kecil masih mengiringi perjalanan mereka kerumah
masing-masing.
********
Berhari-hari.
Maksud kami berminggu-minggu. Kampung kami terasa sepi. Bahkan terasa mati. Kami
tak tahu apa yang sudah kami lakukan, benarkah langkahnya atau memang salah
kaprah, itu merupakan tanda Tanya yang selalu muncul di dalam kepala semua
warga desa kami.
Malam pun masih enggan
menampakkan bintangnya, kabut tebal membungkus duka kami yang penuh amarah. Saat
orang – orang lelap tertidur kami seperti biasa melakukan kegiatan jaga malam
di ronda sembari menghirup dinginnya embun malam ini. Tiba-tiba kami kembali
dikagetkan dengan teriakan seseorangyang tidak kami harapkan. Teriakan itu
terdengar dari salah satu rumah tetangga kami. Kami bertiga yang mendengar
teriakan keras tersebut serentak melotot, saling memandang heran tanpa ekspresi.
Gubug Sastra, Agustus 2014